Sejarah
lepasnya pulau Sipadan dan pulau Ligitan
Sengketa
Ligitan dan Sipadan sebenarnya terjadi sejak masa kolonial antara pemerintah Hindia
Belanda dan Inggris. Pulau Sipadan pernah dimasukkan dalam peraturan tentang
perlindungan Penyu (Turtle Preservation Ordinance) oleh pemerintah Inggris pada
tahun 1977.
Indonesia bekerja sama dengan Japex[1] untuk mengeksplorasi di
wilayah Sipadan (1966), lalu Malaysia mulai beraksi terhadap perjanjian kerja
sama Indonesia – Japex, negara itu juga melakukan kerja sama dengan Sabah
Teiseki Oil di wilayah Sipadan (1968).
Malaysia
mulai mengklaim terhadap pulau Sipadan dan pulau Ligitan sebagai wilayahnya(1969).
Hal ini ditolak oleh pemerintah Indonesia. Kedua negara kemudian merundingkan
batas landasan dan kontinen. Dalam Peta Malaysia, Pulau Sipadan dan Pulau
Ligitan merupakan bagian dari wilayah Republik Indonesia, namun tidak tertera
pada lampiran Perpu No. 4/1960. Kedua belah pihak sepakat menyatakan dua pulau
tersebut dalam status quo.
Traktat
persahabatan dan kerja sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity and
Cooperation in Southeast Astia) dalam KTT pertama ASEAN di Bali menyebutkan
bahwa akan membentuk dewan tetapi pihak Malaysia pertama
ASEAN di Bali menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk
menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN akan
tetapi pihak Malaysia menolak, negara itu beralasan karena melibatkan pula
sengketa dengan wilayah negara tetangga lainnya.(1976)
Kedua negara sepakat menyelesaikan masalah Sipadan-Ligitan secara
bilateral, diawali dengan pertemuan pejabat tinggi kedua negara. Hasil
pertemuan menyepakati dibentuknya Komisi Bersama (Joint Commission/JC) dan
Kelompok Kerja Bersama (Joint Working Groups/JWG). Serangkaian pertemuan JC dan
JWG yang dilaksanakan pun Tidak membawa hasil. Pemerintah RI menunjuk Mensesneg
Moerdiono dan Malaysia menunjuk Wakil PM Anwar Ibrahim sebagai Wakil Khusus
pemerintah untuk mencairkan kebuntuan forum JC/JWG. Namun, dari empat kali
pertemuan juga tidak pernah mencapai hasil kesepakatan.(1992)
(7/10/96) Presiden Republik Indonesia dengan Perdana Menteri Malaysia di Kuala Lumpur menyepakati untuk menyelesaikan penentuan status kepemilikan Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan melalui Mahkamah Internasional. (31/05/97) Pemerintah Republik Indonesia telah menandatangani Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Malaysia mengenai Special Agreement for Submission to the International Court of Justice of the Dispute between Indonesia and Malaysia Concerning Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan, sebagai hasil perundingan antara delegasi delegasi Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Malaysia.
(19/11/97)Pemerintah Malaysia meratifikasi Special Agreement for Submission to the International Court of Justice of the Dispute between Indonesia and Malaysia Concerning
(7/10/96) Presiden Republik Indonesia dengan Perdana Menteri Malaysia di Kuala Lumpur menyepakati untuk menyelesaikan penentuan status kepemilikan Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan melalui Mahkamah Internasional. (31/05/97) Pemerintah Republik Indonesia telah menandatangani Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Malaysia mengenai Special Agreement for Submission to the International Court of Justice of the Dispute between Indonesia and Malaysia Concerning Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan, sebagai hasil perundingan antara delegasi delegasi Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Malaysia.
(19/11/97)Pemerintah Malaysia meratifikasi Special Agreement for Submission to the International Court of Justice of the Dispute between Indonesia and Malaysia Concerning
(29/12/97)Indonesia meratifikasi tanggal Special Agreement for Submission
to the International Court of Justice of the Dispute between Indonesia and
Malaysia Concerning Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan dengan
Keppres Nomor 49 Tahun 1997.
(2/11/98)Special Agreement disampaikan secara resmi ke Mahkamah International (MI). Proses hukum di MI berlangsung kurang lebih 3 tahun. Dalam menghadapi dan menyiapkan materi, Indonesia membentuk satuan tugas khusus yang terdiri dari: Deplu, Depdagri, Dephan, Mabes TNI, Dep. Energi dan SDM, Dishidros TNI AL, Bupati Nunukan, pakar kelautan dan pakar hukum laut International. Indonesia mengangkat “co agent” RI di MI/ICJ (International Court of Justice) yaitu Dirjen Pol Deplu, dan Dubes RI untuk Belanda. Indonesia juga mengangkat Tim Penasehat Hukum Internationl (International Counsels).
(2/11/98)Special Agreement disampaikan secara resmi ke Mahkamah International (MI). Proses hukum di MI berlangsung kurang lebih 3 tahun. Dalam menghadapi dan menyiapkan materi, Indonesia membentuk satuan tugas khusus yang terdiri dari: Deplu, Depdagri, Dephan, Mabes TNI, Dep. Energi dan SDM, Dishidros TNI AL, Bupati Nunukan, pakar kelautan dan pakar hukum laut International. Indonesia mengangkat “co agent” RI di MI/ICJ (International Court of Justice) yaitu Dirjen Pol Deplu, dan Dubes RI untuk Belanda. Indonesia juga mengangkat Tim Penasehat Hukum Internationl (International Counsels).
Klaim Malaysia:
Malaysia mengajukan bukti-bukti berupa bukti hukum Inggris yakni Turtle Preservation Ordinance 1917;
Malaysia mengajukan bukti-bukti berupa bukti hukum Inggris yakni Turtle Preservation Ordinance 1917;
· Perizinan kapal nelayan
kawasan Sipadan dan Ligitan;
· Regulasi suaka burung
tahun 1933 dan pembangunan mercusuar pada tahun 1962 dan 1963.
Semuanya adalah produk
hukum pemerintah kolonial Inggris.
tahun 1895-1928, termasuk kehadiran kapal AL Belanda Lynx ke Sipadan pada November-Desember 1921 dan adanya survei hidrografi kapal
tahun 1895-1928, termasuk kehadiran kapal AL Belanda Lynx ke Sipadan pada November-Desember 1921 dan adanya survei hidrografi kapal
Klaim Indonesia:
Indonesia mengajukan bukti-bukti adanya patroli AL Belanda di kawasan ini Belanda Macasser di perairan Sipadan Ligitan pada Oktober-Novembe 1903. Patroli ini dilanjutkan oleh patroli TNI-AL. Selain itu, bukti yang diajukan adalah adanya kegiatan perikanan nelayan Indonesia pada tahun 1950-1960-an dan bawal 1970-an.
(17/12/02) Pembacaan amar putusan Mahkamah Internasional. Hasil voting hakim Mahkamah Internasional pada kasus sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan, 16 hakim menyatakan dua pulai tersebut milik Malaysia, sementara hanya satu hakim yang menyatakan milik Indonesia.
Alasan hakim memenangkan Malaysia, berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah kolonial Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercusuar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.
Indonesia mengajukan bukti-bukti adanya patroli AL Belanda di kawasan ini Belanda Macasser di perairan Sipadan Ligitan pada Oktober-Novembe 1903. Patroli ini dilanjutkan oleh patroli TNI-AL. Selain itu, bukti yang diajukan adalah adanya kegiatan perikanan nelayan Indonesia pada tahun 1950-1960-an dan bawal 1970-an.
(17/12/02) Pembacaan amar putusan Mahkamah Internasional. Hasil voting hakim Mahkamah Internasional pada kasus sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan, 16 hakim menyatakan dua pulai tersebut milik Malaysia, sementara hanya satu hakim yang menyatakan milik Indonesia.
Alasan hakim memenangkan Malaysia, berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah kolonial Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercusuar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.
Mahkamah menyatakan bahwa,
ukuran obyektif dalam menentukan kepemilikan pulau-pulau tersebut adalah dengan
menerapakan doktrin effective occupation. Dua aspek penting dalam penentuan
effective occupation ini adalah keputusan adannya cut-off date atau sering
disebut critical date dan bukti-bukti hukum yang ada. Critical date yang
ditentukan oleh Mahkamah Internasional adalah tahun 1969. Artinya adalah semua
kegiatan setelah tahun 1969 seperti pembangunan resort dianggap tidak berdampak
hukum sama sekali.
Dalam mengkaji bukti-bukti
hukum sebelum 1969 yang menunjukkan adanya effective occupation atas
pulau-pulau Sipadan-Ligitan, Mahkamah mempertimbangkan bukti-bukti yang
diajukan kedua negara, yakni:Berkaitan dengan pembuktian effectivities
Indonesia, Mahkamah menyimpulkan bahwa tidak ada bukti-bukti kuat yang dapat
mewujudkan kedaulatan oleh Belanda atau Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Begitu
pula halnya, tidak ada bukti-bukti dan dokumen otentik yang dapat menunjukkan
adanya bentuk dan wujud pelaksanaan kedaulatan Indonesia atas kedua pulau
dimaksud hingga tahun 1969. Mahkamah tidak dapat mengabaikan fakta bahwa UU No.
4/Prp/1960 tentang Perairan yang ditetapkan pada 18 Pebruari 1960 merupakan
produk hukum awal bagi penegasan konsep kewilayahan Wawasan Nusantara, juga
tidak memasukkan Sipadan-Ligitan ke dalam wilayah NKRI.
Berkaitan dengan pembuktian effectivities Malaysia, Mahkamahmenyimpulkan bahwa sejumlah dokumen yang diajukan menunjukkan adanya beragam tindakan pengelolaan yang berkesinambungan dan damai yang dilakukan pemerintah kolonial Inggris sejak 1917.
Serangkaian upaya Inggris tersebut terwujud dalam bentuk tindakan legislasi, quasi yudisial, dan administrasi atas kedua pulau sengketa, seperti.
Berkaitan dengan pembuktian effectivities Malaysia, Mahkamahmenyimpulkan bahwa sejumlah dokumen yang diajukan menunjukkan adanya beragam tindakan pengelolaan yang berkesinambungan dan damai yang dilakukan pemerintah kolonial Inggris sejak 1917.
Serangkaian upaya Inggris tersebut terwujud dalam bentuk tindakan legislasi, quasi yudisial, dan administrasi atas kedua pulau sengketa, seperti.
Pengutipan pajak terhadap
kegiatan penangkapan penyu dan pengumpulan telur penyu sejak 1917. Penyelesaian
sengketa dalam kegiatan pengumpulan telur penyu di Pulau Sipadan pada tahun
1930-an;
Penetapan Pulau Sipadan sebagai cagar burung, dan
Pembangunan serta pemeliharaan mercusuar sejak tahun 1962 di Pulau Sipadan dan pada tahun 1963 di Pulau Ligitan
Mahkamah berpandangan bahwa berbeda dengan Indonesia yang mengajukan bukti berupa sejumlah kegiatan Belanda dan rakyat nelayan, Malaysia mengajukan bukti berupa sejumlah ketentuan-ketentuan hukum. Mahkamah menyatakan bahwa berbagai peraturan Inggris tersebut menunjukkan adanya suatu “regulatory and administrative assertions of authority over territory which is specified by name”. Esensi keputusan ini yang terpenting adalah apakah ada suatu pengaturan hukum atau instrumen hukum, regulasi atau kegiatan administratif lainnya tentang pulau tersebut terlepas dari isi kegiatannya.
Penetapan Pulau Sipadan sebagai cagar burung, dan
Pembangunan serta pemeliharaan mercusuar sejak tahun 1962 di Pulau Sipadan dan pada tahun 1963 di Pulau Ligitan
Mahkamah berpandangan bahwa berbeda dengan Indonesia yang mengajukan bukti berupa sejumlah kegiatan Belanda dan rakyat nelayan, Malaysia mengajukan bukti berupa sejumlah ketentuan-ketentuan hukum. Mahkamah menyatakan bahwa berbagai peraturan Inggris tersebut menunjukkan adanya suatu “regulatory and administrative assertions of authority over territory which is specified by name”. Esensi keputusan ini yang terpenting adalah apakah ada suatu pengaturan hukum atau instrumen hukum, regulasi atau kegiatan administratif lainnya tentang pulau tersebut terlepas dari isi kegiatannya.