Tuesday, May 22, 2018


Sejarah lepasnya pulau Sipadan dan pulau Ligitan
Sengketa Ligitan dan Sipadan sebenarnya terjadi sejak masa kolonial antara pemerintah Hindia Belanda dan Inggris. Pulau Sipadan pernah dimasukkan dalam peraturan tentang perlindungan Penyu (Turtle Preservation Ordinance) oleh pemerintah Inggris pada tahun 1977.
 Indonesia bekerja sama dengan Japex[1] untuk mengeksplorasi di wilayah Sipadan (1966), lalu Malaysia mulai beraksi terhadap perjanjian kerja sama Indonesia – Japex, negara itu juga melakukan kerja sama dengan Sabah Teiseki Oil di wilayah Sipadan (1968).
Malaysia mulai mengklaim terhadap pulau Sipadan dan pulau Ligitan sebagai wilayahnya(1969). Hal ini ditolak oleh pemerintah Indonesia. Kedua negara kemudian merundingkan batas landasan dan kontinen. Dalam Peta Malaysia, Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan merupakan bagian dari wilayah Republik Indonesia, namun tidak tertera pada lampiran Perpu No. 4/1960. Kedua belah pihak sepakat menyatakan dua pulau tersebut dalam status quo.
Traktat persahabatan dan kerja sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Astia) dalam KTT pertama ASEAN di Bali menyebutkan bahwa akan membentuk dewan tetapi pihak Malaysia pertama ASEAN di Bali menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak Malaysia menolak, negara itu beralasan karena melibatkan pula sengketa dengan wilayah negara tetangga lainnya.(1976)
Kedua negara sepakat menyelesaikan masalah Sipadan-Ligitan secara bilateral, diawali dengan pertemuan pejabat tinggi kedua negara. Hasil pertemuan menyepakati dibentuknya Komisi Bersama (Joint Commission/JC) dan Kelompok Kerja Bersama (Joint Working Groups/JWG). Serangkaian pertemuan JC dan JWG yang dilaksanakan pun Tidak membawa hasil. Pemerintah RI menunjuk Mensesneg Moerdiono dan Malaysia menunjuk Wakil PM Anwar Ibrahim sebagai Wakil Khusus pemerintah untuk mencairkan kebuntuan forum JC/JWG. Namun, dari empat kali pertemuan juga tidak pernah mencapai hasil kesepakatan.(1992)

           (7/10/96) Presiden Republik Indonesia dengan Perdana Menteri Malaysia di Kuala Lumpur menyepakati untuk menyelesaikan penentuan status kepemilikan Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan melalui Mahkamah Internasional. (31/05/97) Pemerintah Republik Indonesia telah menandatangani Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Malaysia mengenai Special Agreement for Submission to the International Court of Justice of the Dispute between Indonesia and Malaysia Concerning Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan, sebagai hasil perundingan antara delegasi delegasi Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Malaysia.
           (19/11/97)Pemerintah Malaysia meratifikasi Special Agreement for Submission to the International Court of Justice of the Dispute between Indonesia and Malaysia Concerning
(29/12/97)Indonesia meratifikasi tanggal Special Agreement for Submission to the International Court of Justice of the Dispute between Indonesia and Malaysia Concerning Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan dengan Keppres Nomor 49 Tahun 1997.
           (2/11/98)Special Agreement disampaikan secara resmi ke Mahkamah International (MI). Proses hukum di MI berlangsung kurang lebih 3 tahun. Dalam menghadapi dan menyiapkan materi, Indonesia membentuk satuan tugas khusus yang terdiri dari: Deplu, Depdagri, Dephan, Mabes TNI, Dep. Energi dan SDM, Dishidros TNI AL, Bupati Nunukan, pakar kelautan dan pakar hukum laut International. Indonesia mengangkat “co agent” RI di MI/ICJ (International Court of Justice) yaitu Dirjen Pol Deplu, dan Dubes RI untuk Belanda. Indonesia juga mengangkat Tim Penasehat Hukum Internationl (International Counsels).

Klaim Malaysia:
Malaysia mengajukan bukti-bukti berupa bukti hukum Inggris yakni Turtle Preservation Ordinance 1917;
·   Perizinan kapal nelayan kawasan Sipadan dan Ligitan;
·   Regulasi suaka burung tahun 1933 dan pembangunan mercusuar pada tahun 1962 dan 1963.
Semuanya adalah produk hukum pemerintah kolonial Inggris.
tahun 1895-1928, termasuk kehadiran kapal AL Belanda Lynx ke Sipadan pada November-Desember 1921 dan adanya survei hidrografi kapal

Klaim Indonesia:
Indonesia mengajukan bukti-bukti adanya patroli AL Belanda di kawasan ini Belanda Macasser di perairan Sipadan Ligitan pada Oktober-Novembe 1903. Patroli ini dilanjutkan oleh patroli TNI-AL. Selain itu, bukti yang diajukan adalah adanya kegiatan perikanan nelayan Indonesia pada tahun 1950-1960-an dan bawal 1970-an.
           (17/12/02) Pembacaan amar putusan Mahkamah Internasional. Hasil voting hakim Mahkamah Internasional pada kasus sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan, 16 hakim menyatakan dua pulai tersebut milik Malaysia, sementara hanya satu hakim yang menyatakan milik Indonesia.
           Alasan hakim memenangkan Malaysia, berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah kolonial Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercusuar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.
Mahkamah menyatakan bahwa, ukuran obyektif dalam menentukan kepemilikan pulau-pulau tersebut adalah dengan menerapakan doktrin effective occupation. Dua aspek penting dalam penentuan effective occupation ini adalah keputusan adannya cut-off date atau sering disebut critical date dan bukti-bukti hukum yang ada. Critical date yang ditentukan oleh Mahkamah Internasional adalah tahun 1969. Artinya adalah semua kegiatan setelah tahun 1969 seperti pembangunan resort dianggap tidak berdampak hukum sama sekali.
Dalam mengkaji bukti-bukti hukum sebelum 1969 yang menunjukkan adanya effective occupation atas pulau-pulau Sipadan-Ligitan, Mahkamah mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan kedua negara, yakni:Berkaitan dengan pembuktian effectivities Indonesia, Mahkamah menyimpulkan bahwa tidak ada bukti-bukti kuat yang dapat mewujudkan kedaulatan oleh Belanda atau Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Begitu pula halnya, tidak ada bukti-bukti dan dokumen otentik yang dapat menunjukkan adanya bentuk dan wujud pelaksanaan kedaulatan Indonesia atas kedua pulau dimaksud hingga tahun 1969. Mahkamah tidak dapat mengabaikan fakta bahwa UU No. 4/Prp/1960 tentang Perairan yang ditetapkan pada 18 Pebruari 1960 merupakan produk hukum awal bagi penegasan konsep kewilayahan Wawasan Nusantara, juga tidak memasukkan Sipadan-Ligitan ke dalam wilayah NKRI.
            Berkaitan dengan pembuktian effectivities Malaysia, Mahkamahmenyimpulkan bahwa sejumlah dokumen yang diajukan menunjukkan adanya beragam tindakan pengelolaan yang berkesinambungan dan damai yang dilakukan pemerintah kolonial Inggris sejak 1917.
Serangkaian upaya Inggris tersebut terwujud dalam bentuk tindakan legislasi, quasi yudisial, dan administrasi atas kedua pulau sengketa, seperti.
Pengutipan pajak terhadap kegiatan penangkapan penyu dan pengumpulan telur penyu sejak 1917. Penyelesaian sengketa dalam kegiatan pengumpulan telur penyu di Pulau Sipadan pada tahun 1930-an;
Penetapan Pulau Sipadan sebagai cagar burung, dan
Pembangunan serta pemeliharaan mercusuar sejak tahun 1962 di Pulau Sipadan dan pada tahun 1963 di Pulau Ligitan
Mahkamah berpandangan bahwa berbeda dengan Indonesia yang mengajukan bukti berupa sejumlah kegiatan Belanda dan rakyat nelayan, Malaysia mengajukan bukti berupa sejumlah ketentuan-ketentuan hukum. Mahkamah menyatakan bahwa berbagai peraturan Inggris tersebut menunjukkan adanya suatu “regulatory and administrative assertions of authority over territory which is specified by name”. Esensi keputusan ini yang terpenting adalah apakah ada suatu pengaturan hukum atau instrumen hukum, regulasi atau kegiatan administratif lainnya tentang pulau tersebut terlepas dari isi kegiatannya.



[1] Japan Exploration Comapany Limited